Oleh Syamsul Arif,
Pendidik di Ponpes eLKISI Mojokerto
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 216).
Tergugah Khutbah
Islam agama yang sempurna. Semua aspek di kehidupan manusia sudah diatur lengkap. Misal, ada perintah shalat, puasa, zakat, infaq, dan lain-lain. Juga, ada larangan –antara lain- mencuri, berzina, dan memakan harta riba.
Dalam Islam, riba sangat terlarang. Untuk itu, kita harus menjauhi dan bahkan meninggalkannya. Di titik ini, insya-Allah saya punya pengalaman yang semoga bermanfaat jika kita baca bersama. Bahwa, dulu saya memutuskan untuk hijrah –meninggalkan- dari keterkaitan diri dengan riba. Hijrah menuju kehidupan yang –insya-Allah- diridhai-Nya.
Alkisah, sejak 1996 saya menjadi karyawan sebuah Bank yang cukup terkemuka, di Surabaya. Si suatu Jum’at, sekitar November 2006, saya ada pertemuan dengan nasabah di salah satu hotel di Surabaya. Saat shalat Jum’at, saya berjamaah di masjid hotel tersebut. Sementara, yang menjadi khotib kala itu adalah Ustadz Suherman Rosyidi, dosen FEB Unair Departemen Ekonomi Syari’ah.
Dalam khutbahnya, beliau menerangkan tentang haramnya riba. Termasuk gaji yang diperoleh dari bekerja di bank konvensional adalah riba. Pelaku riba yang ikut menanggung dosa adalah pemberi riba, pemakan riba, pencatat riba, dan saksi riba.
Merinding saya saat mendengar khutbah tersebut. Apa riba? Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sementara, secara istilah, riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.
Dalam hati, saya lalu bertanya-tanya: Apakah selama ini saya menghidupi diri dan keluarga dengan harta riba? Maka, pantaskah saya mengharap surga-Nya kelak?
Sebelum meninggalkan tempat shalat Jum’at, saya memberanikan diri bertemu dengan Ustadz Suherman sekaligus meminta saran, apa yang harus saya lakukan. Dengan tersenyum beliau menjawab, “Anda harus berhijrah, dengan segala macam konsekuensinya. Tapi yakinlah, siapa yang lurus di Jalan Allah, pasti Dia akan menunjukkan jalan keluar yang terbaik”.
Setelah itu, hampir satu tahun saya mengalami beban yang cukup berat, bahkan bisa dikatakan stress. Saat itu, ada dua pilihan sulit yaitu meninggalkan pekerjaan yang tergolong riba tetapi belum ada pekerjaan yang baru, atau tetap bertahan namun beresiko dosa. Akibatnya, empat kali dalam setahun saya harus opname di Rumah Sakit. Penyakitnya sama, yaitu infeksi lambung. Dokter mengatakan, saya stress. Obatnya, harus menghindari penyebab stress tersebut.
Singkat cerita, di awal tahun 2008 saya memutuskan untuk mundur dari pekerjaan di Bank. Selanjutnya saya berwirausaha, beternak itik. Awalnya hasil yang diperoleh cukup memuaskan, tidak kalah dengan saat saya masih berstatus sebagai karyawan Bank.
Hidup memang tak selalu bisa kita duga arahnya. Allah memberi ujian kepada saya. Di daerah tempat saya beternak terkena banjir dan angin kencang. Hal itu, merobohkan pohon dan menimpa kandang itik saya. Saya rugi puluhan juta rupiah. Semua saya kembalikan kepada Allah, dengan bersabar.
Mencoba untuk tidak berputus-asa, dengan dibantu istri, kemudian saya membuka usaha toko dan bimbingan belajar di rumah. Di samping itu, saya juga mengajar Al-Qur’an, juga di rumah. Dengan usaha itu, cukuplah rezeki saya. Lebih dari itu, usaha saya makin berkembang.
Pada 2011, saya harus mencarikan lembaga pendidikan lanjutan untuk putri pertama yang baru lulus Sekolah Dasar. Beberapa pesantren sudah kami tiliki, namun tidak ada satupun yang dipilih oleh putri saya.
Sampai suatu ketika, saya mendapatkan brosur sebuah lembaga yang masih sangat baru, Pondok Pesantren Islamic Center eLKISI, tak jauh dari Trawas Mojokerto. Sayapun lalu mengajak putri saya untuk mengunjungi Pesantren tersebut. Dari jalan raya, sepanjang sekitar 1 Km untuk sampai di lokasi, harus melewati jalan makadam.
Meski tergolong baru, Pondok inilah yang dipilih putri saya dengan alasan tempatnya nyaman untuk belajar. Alhasil, putri saya menjadi angkatan pertama santri yang mondok di situ. Saya –yang tinggal di Sidoarjo- lalu rutin, satu atau dua pekan sekali, mengunjungi putri saya.
Sering datang ke pondok, berbuah hikmah yaitu saya semakin akrab dengan para ustadz di sana. Saya lalu mendapatkan tawaran untuk mengajar di Pondok, setelah mereka tahu kalau saya juga mengajar walaupun tidak di sekolah formal.
Mulailah saya mengajar. Saat itu jumlah santrinya masih sedikit, sehingga saya hanya mengajar dua kali dalam sepekan. Pagi berangkat ke Pondok dan sore hari kembali ke rumah dengan jarak sekitar 35 Km.
Di pertengahan 2014, saya lalu mendapatkan amanah menjadi Kepala SMA yang baru saja didirikan di Pondok tersebut. Tugas dan amanah baru inilah yang kemudian membuat saya mengambil keputusan untuk tinggal di Pondok, bersama keluarga.
Bersyukur, saya bisa berkumpul di lingkungan pesantren, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Hidup di Pondok, banyak amaliyah yang relatif mudah untuk dikerjakan secara istiqomah, antara lain: Shalat fardlu selalu tepat waktu dan berjamaah, murojaah Al-Qur’an, menimba ilmu, serta tahajjud.
Dulu, saat di Bank, pagi-pagi sudah berangkat kerja dan pulang sudah larut malam. Sekarang, telah berubah. Begitu indah skenario Allah bagi hamba yang mau menempuh syariat-Nya. Tapi, proses dari “dulu” menjadi “sekarang”, memang tidak mudah. Proses meninggalkan kehidupan yang bisa dikatakan sudah berada pada “zona nyaman” menuju ke “zona qanaah”, penuh ujian.
Terbaik, Terbaik!
Sungguh, melakukan hijrah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah menuju perbuatan yang diridhai-Nya, sering tidak berjalan dengan mulus. Dalam menempuhnya, akan banyak ujian yang harus kita hadapi. Tapi yakinlah, dengan sabar dan tawakkal, Allah pasti akan menunjukkan jalan terbaik untuk kita. Maka, jangan ragu-ragu untuk berhijrah, sebab di sana banyak hikmah