Oleh: Indana Zulfa, S.Pd
Mahasiswa Pasca Sarjana Elit (eLKISI Institut)
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُو۟لَـٰٓئِكَ أَصْحَـٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَـٰلِدُونَ”
“Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah ayat 257)
Ayat ini menegaskan peran Allah sebagai pelindung dan pembimbing bagi orang-orang yang beriman. Dengan kuasa-Nya, Allah mengeluarkan mereka dari berbagai bentuk kegelapan (zulumat) menuju cahaya (nur).
Dalam konteks sejarah Indonesia, ayat ini dapat direfleksikan melalui sosok R.A. Kartini—seorang tokoh intelektual yang menapaki perjalanan dari ketidaktahuan menuju pemahaman, dari kebodohan menuju ilmu, dan dari keterbelakangan menuju kesadaran akan pentingnya ilmu dan pencerahan hidup.
Perjuangan Melawan Kegelapan Intelektual
R.A. Kartini hidup di tengah masyarakat yang masih memandang rendah pentingnya pendidikan, terutama bagi kalangan perempuan bangsawan Jawa. Dalam keterbatasan tersebut, ia berusaha keras keluar dari situasi yang disimbolkan sebagai zulumat—yaitu kebodohan, ketertinggalan, dan minimnya akses terhadap ilmu pengetahuan.
Melalui surat-suratnya, Kartini menunjukkan semangat kuat untuk mencari nur—pencerahan melalui pendidikan dan bacaan. Ini mencerminkan pesan QS. Al-Baqarah: 257, bahwa Allah membimbing orang beriman dari kegelapan menuju cahaya.
Kartini dan Al-Qur’an: Perjalanan Menuju Pencerahan Hakiki
Menjelang akhir hayatnya, Kartini menunjukkan ketertarikan kuat pada ajaran Al-Qur’an. Ia menyadari bahwa selama ini, meskipun sering mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan, dirinya tidak memahami maknanya karena kendala bahasa.
Atas dorongan ini, Kartini meminta kepada Kyai Sholeh Darat—seorang ulama besar dari Semarang—untuk menulis tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa agar lebih mudah dipahami. Kyai Sholeh Darat kemudian menulis tafsir tersebut dalam aksara pegon, dan Kartini pun mulai mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Usaha ini menunjukkan kesungguhan spiritual dan intelektualnya untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 2:
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,”
Dengan belajar dari tafsir berbahasa daerah, Kartini keluar dari zulumat—yaitu ketidaktahuan terhadap wahyu—menuju nur pemahaman yang membuka cakrawala hidupnya. Inilah bentuk spiritualitas aktif yang tidak hanya ritual, tetapi berakar pada pencarian ilmu dan makna.
Menapaki Jalan Cahaya melalui Ilmu dan Iman
R.A. Kartini adalah contoh nyata dari seseorang yang menempuh perjalanan dari zulumat menuju nur. Ia melawan ketidaktahuan dan keterbelakangan melalui ilmu, dan mendekatkan diri kepada petunjuk Al-Qur’an melalui pemahaman yang lebih mendalam.
Refleksi terhadap QS. Al-Baqarah: 257 dalam konteks perjuangan Kartini memberikan gambaran bahwa jalan menuju cahaya tidak hanya melewati jalur pendidikan formal, tetapi juga melalui kesadaran spiritual yang tulus. Kartini menapaki jalan ini dengan hati yang jujur dan akal yang terbuka, sehingga menjadi teladan dalam mengintegrasikan ilmu dan iman.