Buku Baik Lahirkan Gagasan dan Buku

0
342

Oleh M. Anwar Djaelani,
dosen The eLKISI Institute

Judul buku     : Nuun, Berjibaku Mencandu Buku
Penulis          : Yusuf Maulana
Penerbit        : Sabuk Pustaka – Malang
Terbit           : Januari, 2018
Tebal            : 263 halaman

Buku ini berisi himpunan esai pengalaman berliterasi, berinteraksi dengan buku. Di penghujung buku kita digugah, bahwa dengan kecakapan memilih tema untuk satu “periode baca” dan dengan modal kesungguhan, kita pun –sebenarnya- bisa menulis buku. Sang penulis -Yusuf Maulana (YM)- punya kompetensi menulis buku ini, sebab dia pecinta dan pemburu buku. YM pemilik ribuan buku yang saat memerolehnya terbilang “heroik”. Lalu, saat buku telah didapat, dia pun tenggelam dalam asyik-masyuk dengan “sang kekasih”, mereguk ilmu darinya. Maka, tak berlebihan jika buku ini diniatkan: “Untuk berbagi pengalaman dan jejak mengingat buku” (h.8).

Mengalir dan Menggugah
Di antara koleksi saya, buku ini termasuk yang paling cepat saya tamatkan. Dari isinya, saya makin yakin bahwa buku sangat penting untuk dimiliki, dibaca, dan –kelak pada waktunya- diwariskan kepada anak-cucu sebagai harta yang tak ternilai.

Dari puluhan esai di dalamnya, YM mengelompokkan menjadi empat bagian: “Buku dan Narasi Pengabdian”, “Buku dan Jejak Perjalanan”, “Buku dan Daur Pelupaan”, serta “Buku dan Hasrat Bergaya”.

Di bagian pertama, “Buku dan Narasi Pengabdian”, utamanya merekam berbagai jejak orang yang berjasa atas terbitnya sebuah buku. Wujudnya, antara lain, sebentuk apresiasi kepada penulis buku yang kita baca. Di titik ini kita bisa membaca antara lain: “Terpikat Karisma Tuan Hassan”.

Lewat esai tersebut di atas, kita tahu kisah YM -yang kala itu baru masuk SMA dan berlatar-belakang Nahdliyin- jatuh hati kepada A.Hassan, guru dan tokoh PERSIS (Persatuan Islam). YM mengenal A.Hassan lewat buku “Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama”.

YM tak salah jika jatuh hati kepada A.Hassan yang tajam saat menulis dan fasih kala berdebat. A.Hassan tajam menulis karena dia telah melahirkan puluhan buku yang bergizi tinggi. A.Hassan fasih berdebat karena –antara lain- pernah secara telak dia memenangkan debat dengan Abubakar Ayyub -tokoh Ahmadiyah- pada 1930-an. Pernah pula A.Hassan mengritik Soekarno, pengidola sekularisasi ala Mustafa Kamal Attaturk tokoh sekular Turki. Intinya, bagi A.Hassan, Islam tak bisa dipisahkan dari urusan negara. 

YM juga menulis “Ahmad Mansur Menemukan Sejarah”. Mansur adalah professor sejarah dari Bandung. Dia menulis buku “Menemukan Sejarah”. Lalu, YM mengenang: “Bagi anak muda yang tengah gandrung pada kajian keislaman,” buku itu, “Jelas memacu adrenalin api ghirah”. Benar, misal, di buku Mansur itu kita mendapati bahwa –di negeri ini- Kartini bisa disebut sebagai pendorong awal penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa yang kita mengerti.

Bergeser ke bagian kedua, “Buku dan Jejak Perjalanan”. Di antaranya, ada “Ragam Cara Meraih Buku Idaman”. Bahwa, bagi pecinta buku, berburu buku adalah seni yang mengasyikkan. Berdasar pengalaman, sering kita seperti dituntun untuk mendapatkan buku yang kita idam-idamkan (terutama terbitan lama yang sudah tak dicetak ulang) di tempat yang tak kita duga dan dengan harga murah. Oleh karena itu, blusukan bagi pecinta buku adalah satu hal yang niscaya.

Lanjut ke bagian ketiga, “Buku dan Daur Pelupaan”. Dari judul-judulnya, relatif mudah membayangkan isi dari masing-masing tulisan. Antara lain, ada “Kenangan pada Buku Semasa Kecil” dan “Ensiklopedia Anak Tercinta”.

Setidaknya, ada dua pesan di esai yang disebut terakhir itu. Pertama, “Literasi harus ditancapkan dari minat baca pada buku teks cetak dan bukan dari teks digital”. Di titik ini, terutama bagi anak-anak, ensiklopedia bisa menjadi “pintu masuk” yang baik. Kedua, hadiah bacaan bergizi dari orangtua di saat kita kecil, sungguh sangat membekas secara positif. Sampai-sampai, saat si kecil kelak juga menjadi orangtua, “Mereka masih bisa bercerita indahnya berintim dengan buku” (h.214).    

Di bagian ketiga ini, ada esai yang membuat kita menunduk, melihat performa mahasiswa zaman kini. Rasakanlah, “Sepi Menemani di Toko Buku Kampus”. Lalu, jawablah ini: “Apa Kabar Perpustakaan Masjid Kampus?”

Terakhir, bagian keempat, “Buku dan Hasrat Bergaya”. Dari judul-judulnya, tergambar isinya. Misal, “Menakar Sebatang Coklat”. Juga, ini: “Santap Bersama atau Beli Buku?”

Meski secara keseluruhan bagus, ada catatan untuk perbaikan buku ini. Misal, pertama, pembenahan atas beberapa kata yang salah cetak. Kedua, perlu untuk mengubah “rasa koran” di masing-masing esai menjadi “berbahasa buku”. Misal, ada kata atau frase “sekarang” (h.109), “sedekade silam” (h.118), dan “delapan tahun lalu” (h.122). Itu, kejadian yang dimaksud, tahun berapa? Hal tersebut mengundang tanya, sebab di masing-masing esai tak dicantumkan tanggal dan tahun penulisannya.

Apapun, selamat membaca karya YM ini! Nikmatilah buku ini, yang penyajiannya mengalir dan menggugah. Terlebih, buku ini ditutup dengan esai cantik: “Titik Temu Kualitas Diri”. Bahwa, riwayat cinta kepada aktivitas membaca sebaiknya harus berujung kepada kesukaan untuk menulis. Maka, jika sudah demikian, lahirnya buku demi buku karya kita adalah sesuatu yang sangat mungkin. Caranya, saat mengoleksi dan membaca buku, usahakan di satu waktu yang kita tentukan sendiri hanya yang setema saja. Jika sudah terlatih, insya-Allah akan muncul gagasan untuk menulis buku hasil dari bacaan-bacaan kita.

Siklus Bagus
Alhasil, di benak saya lalu terbit banyak program membaca untuk kemudian diusahakan bisa melahirkan buku. Salah satunya, saya akan mengoleksi dan membaca buku-buku bertema keluarga sakinah. Lalu, bersamaan dengan itu insya-Allah saya akan menulis buku “Keluarga Sakinah Perindu Jannah”. Sungguh, benarlah kata orang, “Buku baik akan melahirkan gagasan dan bahkan buku baik yang lain”. []